Pada asalnya bekam secara hukum fighiyyah bukan termasuk sunnah fi’liyyah Nabi SAW. Bekam masuk kedalam kategori perkara keduniaan. Hal ini mirip dengan perbuatan Nabi SAW bahwa beliau tidur, minum, berjalan dan semisalnya dari perkara yang mubah. Dalam sebagian madzhab, perkara yang mubah bukan termasuk hukum taklif (hukum yang dibebankan lantaran dituntut untuk dikerjakan, entah dengan perintah yang tegas atau tidak). Tidak boleh dikatakan ini sunnah atau wajib, kerana pada asalnya seseorang berbekam mencari kesembuhan, bukan semata-mata untuk beribadah kepada Allah.
Syaikh Ibnu Utsaimin rah.a berkata, “Apa saja yang bukan termasuk qurbah (ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah), maka perbuatan ini tidak dibawa kedalam perbuatan yang hukumnya wajib ataupun sunnah, meski perbuatan ini ada kemungkinan hukumnya wajib atau sunnah. Akan tetapi jika memiliki kemungkinan masuk kedalam perkara mubah,maka hukum perbuatan ini dibawa kepada perkara yang mubah,karena pada asalnya tidak ada pembebanan kecuali ada dalilnya.
Adapun sifat-sifat bekam seperti berbekam pada tanggal 17,19,21,berbekam pada malam hari karena berpuasa atau berbekam karena bergolaknya darah, bukan mubah. Adapun secara ilmu hadist bekam adalah sunnah Nabi. Oleh sebab itu Syaikh DR. Muhammad Musa Alu Nasr dalam muqaddimah Manhajus Salamah fima Warada fil Hijamah mengatakan bekam adalah termasuk sunnah Nabi, beliau mengatakan:
“Kutulis buku ini (Manhajus Salamah) sebagai upaya mengingatkan diri saya sendiri dan mengingatkan saudara saudara kami di bumi belahan timur dan barat untuk menghidupkan sunnah (bekam) yang telah ditinggalkan ini. (Itulah) sebuah sunnah yang telah diperintahkan kepada Rasulullah SAW tatkala beliau berada di al-Mala’ul A’la (langit yang tinggi ). Dan Rasulullah SAW telah memberikan wasiat kepada umatnya agar berbekam tatkala beliau bersabda:
“Sungguh seideal-idealnya pengobatan (dalam riwayat lain dengan lafazh: yang paling utama) untuk kalian lakukan adalah bekam.”
Ibnu Hajar dalam al-Fath berkata,”Hadist ini mengandung pensyariatan bekam dan anjuran untuk menggunakannya, lebih-lebih bagi orang yang membutuhkannya.”
Jadi kesimpulannya, hukum asal bekam adalah mubah. Adapun sifat bekam dan tata caranya sebagaimana yang ditunjukkan Nabi adalah sunnah.
Wallahu alam.
Adapun apakah bekam termasuk ath-Thibbun Nabawi atau bukan, maka jawabannya adalah masuk dalam koridor ath-Thibbun Nabawi, karena banyak praktik dari Nabi sendiri yang menunjukkan perkara ini. Wallahu a’lam 😊
No comments:
Post a Comment